Bagaimana pendidikan moral kepada anak-anak kita?
Jika kita mau membuka mata maka kita akan tahu betapa belum efektifnya pendidikan moral yang kita berikan kepada anak-anak kita selama ini. itu terlihat dari banyaknya kejadian-kejadian yang begitu memprihatinkan.
Tentunya kejadian-kejadian ini berkaitan erat dengan pendidikan moral yang selama ini kita terapkan terhadap anak cucu kita, atau bahkan mungkin saja kita lalai/tidak memperhatikan pendidikan moral seperti apa yang seharusnya di berikan dan kita sibuk dengan kesibukan sehari-hari.
Berikut ini salah satu fakta bahwa pendidikan moral yang kita berikan kepada anak-anak kita belum sesuai seperti yang kita harapkan.
Menandai tutup tahun, masyarakat dikejutkan oleh berita tentang perilaku anak-anak kita. Kabar terbaru datang dari Kota Surabaya. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan, berhubungan seks saat berpacaran dianggap hal yang wajar, alias bukan hal tabu lagi oleh siswa/siswi sekolah menengah pertama (SMP).
Penelitian terbaru yang dilakukan Hotline Pendidikan menunjukkan, 45 persen siswa SMP menganggap hubungan layaknya suami-istri saat pacaran adalah hal wajar.
"Sungguh mengagetkan. Hasil menunjukkan45 persen dari sampel mengaku aktivitas seksual adalah hal wajar saat berpacaran," kata Direktur Hotline Pendidikan, Isa Ansori, Sabtu (30/12/2011) kepada hidayatullah.com.
Dalam penelitian ini, Hotline Pendidikan meneliti hampir 700 siswa dalam bentuk pembagian quisoner dan wawancara. Penelitian dilakukan terhadap sejumlah siswa SMP di Kota Surabaya. Termasuk sekolah negeri, sekolah swasta dan sekolah berbasis keagamaan.
Penelitian bertajuk “Perilaku Berpacaran Pelajar SMP Surabaya” mini dimulai sejak September hingga November 2011. Hasilnya, selain angka 45 persen yang berpikir seks itu wajar saat berpacaran, 14 persen lainnya telah melakukan hubungan seksual.
Isa memaparkan, 41 % responden setuju (bahkan sangat setuju) apabila pasangan remaja yang berpacaran hanya duduk dan ngobrol tanpa diselingi berpegang tangan, berpelukan dan berciuman. Mereka menganggap, berpacaran hanya mengobrol termasuk ketinggalan zaman.
Yang menarik perilaku kebebasan ini dilakukan di mall, di tempat-tempat umum, bahkan di sekolah.
“Ada sebuah siswa sekolah yang dalam satu tahun bisa melakukan hubungan intim justru di lokasi sekolah,satu tahun bisa melakukan hubungan intim justru di lokasi sekolah,” ujarnya.
Menurut Isa, perilaku ini umumnya karena perubahan gaya hidup. Ada kesan, bagi mereka akan dianggap lebih modern jika melakukan itu.
Dari penelitian tersebut juga didapatkan data 52 persen televisi merupakan sumber informasi yang paling mempengaruhi mereka, disusul oleh teman sebaya sebanyak 42 persen, dan sisanya sumber lain seperti internet, handphone, koran/majalah dan radio.
“Dari hasil penelitian tersebut, televisi membawa pengaruh besar terhadap pergaulan dan gaya berpacaran mereka. Apalagi saat ini banyak sekali acara televisi yang tidak mendidik dan tidak bermutu,” ungkap Isa.
Lebih lanjut Isa menjelaskan, agar semakin menggalakkan komunikasi di keluarga. Sebab bagaimanapun, pendidikan di rumah itu paling inti dan nomor satu.
Ia juga mengharapkan agar lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, dan seluruh masyarakat lebih memperhatikan dan memprioritaskan pendidikan dan pembiasaaan imtaq (iman dantaqwa) serta pendidikan moral.
”Selama ini pemerintah menggaung-gaungkan pendidikan karakter, akan tetapi hal tersebut masih sebatas menjadi semboyan saja, belum masuk menjadi aktivitas yang nyata,” pungkasnya.
Ia juga berharap lembaga media, seperti televisi membuat acara yang lebih mencerdaskan, yang tak hanya mengajari remaja berperilaku negativ. Namun sebaliknya, ia juga meminta para orangtua lebih selektif memilihkan tontontan pada anak, sekaligus mendampinginya agar lebih baik.
Sebelum ini, survey yang dilakukan Indonesia Sex Survey 2011 menunjukkan tempat kos (asrama) dan rumah justru menjadi tempat favorit anak muda melakukan hubungan seks. Umumnya mereka melakukan di rumah di saat orangtua tidak ada.*
Lantas pertanyaannya, pendidikan moral seperti apakah yang sebaiknya di berikan kepada generasi penerus kita? jawaban dari pertanyaan tersebut merupakan sebuah PR besar yang harus kita kerjakan bersama, akan tetapi terdapat beberapa kisah yang dapat menginspirasi seperti apa pendidikan moral yang sesuai.
BAGI seorang wanita pada umumnya, melajang dalam usia matang sungguh tak nyaman. Betapa pun, menikah adalah kebutuhan fitrah setiap manusia. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini sangat bisa jadi menjadi penyebab guncangan jiwa yang bersangkutan.
Bagi seorang wanita normal, keluarga dan anak-anak adalah harapan dan cita-cita. Keluarga adalah tempat mengabdi yang membawa ketenangan. Anak-anak adalah amanah yang membawa kebahagiaan. Sangat wajar, jika setiap wanita menginginkan adanya fase menikah dalam hidupnya.
Tapi masalahnya, menikah tidak bisa dilaksanakan secara sepihak. Menikah membutuhkan pasangan, yang dalam situasi, kondisi dan masa tertentu tidak mudah ditemukan. Karena kriteria yang tak sepadan, karena kuantitas yang tak terpenuhi, maupun karena takdir belum menentukan. Seperti pada masa sekarang, saat wanita lajang di usia matang hampir menjadi fenomena.
Lantas bagaimana?
Bersabar, menunggu dan bertakwa kepada keputusan Allah. Itu yang banyak saya dengar, dan saya sepakati pula. Hal ini barangkali hikmah diperbolehkannya poligami oleh kaum pria, dan mungkin sudah tiba masanya. Ini pendapat lain, yang saya juga tidak menolaknya. Namun, apakah hanya itu? Saya kira masih ada alternatif lain, yang lebih progresif bukan pasif dan bisa dilakukan secara mandiri oleh seorang wanita.
Saya teringat sebuah kisah tentang seorang muslimah perkasa di punggung Gunung Kidul. Wanita itu sangat aktif utamanya dalam kegiatan dakwah dan sosial.
Dengan sepeda motornya ia menjelajahi pelosok desa, mengisi kajian dan memberikan penyuluhan di kampung-kampung miskin dan desa-desa terpencil. Ia menjadi panutan, ia menjadi konsultan, ia menjadi acuan, ia menjadi tempat orang-orang lugu itu meminta nasihat.
Muslimah itu, masih lajang dalam usianya yang 35 tahun. Muslimah itu, mengasuh tiga anak yatim dengan kemampuannya sendiri. Muslimah itu, tidak kesepian karena ia punya ‘keluarga’. Wanita itu tak kehilangan fitrah kewanitaannya karena ia punya ‘anak-anak’ tempat ia mencurahkan cinta dan perhatian. Muslimah itu tidak digugat kesendiriannya karena ia menebar manfaat.
Membaca kisahnya, banyak inspirasi yang bisa diambil oleh kaum wanita, dan saya pun ingin meneladaninya. Apa yang dilakukan muslimah tersebut bisa menjadi salah satu alternatif jawaban atas problema banyaknya wanita-muslimah khususnya- berusia matang yang belum menikah. Apa yang dilakukan si muslimah perkasa, memberikan hikmah yang banyak bagi kemanusiaan.
Pertama, jika kita renungan, menjadi lajang bukanlah sebuah aib dan dukacita. Menjadi lajang membuka pintu-pintu amal dan manfaat bagi diri dan masyarakat, seperti halnya yang dilakukan si muslimah.
Kedua, seorang wanita lajang akan lebih mudah bergerak dan beraktifitas karena ia tak dibebani tugas-tugas kerumahtanggaan. Seorang wanita lajang akan bisa lebih banyak berbakti kepada masyarakat dengan modal waktu, peluang dan kemampuan yang ia miliki. Berapa banyak selama ini aktifitas sosial masyarakat yang mandeg karena ditinggal penghasungnya (yang seorang wanita) menikah? Berapa banyak aktifitas yang masih terus berkembang karena penyandangnya ‘alhamdulillah’ masih lajang dan punya waktu banyak untuk berkomitmen?
Lantas bagaimana memenuhi kebutuhan fitrah sebagai wanita? Bukankah pintu tebuka lebar juga? Lihat, betapa banyak anak-anak di dunia ini yang butuh asuhan, pendidikan dan usapan tangan lembut kaum wanita? Apalagi di Jakarta yang sedemikian tua dan menyimpan banyak problema terutama berkaitan dengan anak jalanan, anak miskin, anak yatim dan anak-anak yang kurang dalam pendidikan dan asuhan.
Dalam kesendirian dan kemandirian kaum wanita, barangkali Allah memang mengirimkan mereka untuk anak-anak tak mampu, untuk dididik, untuk diasuh. “Mereka adalah anak-anak kita juga,” begitu kata Emha Ainun Najib pernah mengatakan dalam salah satu tulisannya di buku “Markesot Bertutur”.
Anak-anak sesungguhnya adalah anak-anak dunia, amanah dari Allah yang mesti dijaga. Sekalipun mereka tidak lahir dari rahim kita.
Saya percaya, selalu ada hikmah di balik setiap realitas yang ditetapkan Allah.
Banyaknya wanita lajang pada masa sekarang, mungkin karena Allah menginginkan adanya tangan–tangan terampil, pribadi-pribadi lembut namun perkasa untuk menanggung sebagian beban dunia. Tugas itu diantaranya adalah mengasuh anak-anak yatim, anak-anak jalanan, anak-anak tetangga yang kurang perhatian dan kurang pendidikan moral. Tugas itu diantaranya adalah ikut membenahi kerusakan sosial, kemiskinan, buruknya pendidikan dan aktifitas publik lainnya yang membutuhkan komitmen waktu, kemampuan dan kemandirian seorang wanita.
Mereka butuh kita, para wanita lajang yang mandiri, yang sanggup menafkahi diri sendiri dan orang lain. Yang memiliki perhatian dan kemauan lebih untuk all out terhadap aktifitas yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh para wanita yang sudah berumahtangga. Kita bisa tetap memiliki keluarga, meski bukan karena pernikahan.
Kita dapat memiliki makna, meski bukan dengan car menjadi ibu rumah tangga. Kita mampu bisa menjadi manusia seutuhnya melalui usaha kita sendiri, tanpa harus meminta pengertian semua orang, tanpa perlu menuntut dan meminta para lelaki untuk menikahi dan berpoligami.
Sekarang tinggal kita tinggal memilih: Mengadopsi anak dari panti asuhan, anak jalanan, anak tetangga? Atau ikut berpartisipasi menjadi orangtua asuh, mendidik anak jalanan, anak-anak TPA, anak tetangga, keponakan, mendirikan taman bacaan? Atau bahkan ‘hanya’ sesedikit apapun, berkontribusi terhadap agama di komunitas dan masyarakat kita. Mereka adalah juga ‘keluarga’ kita.*(hidayatullah.com)
Itu tadi beberapa hal yang sangat perlu kita cermati dan renungkan, betapa carut marutnya tatanan moral yang ada sekarang ini sehingga menuntut kita untuk segera memperbaiki pendidikan moral kepada anak-anak kita, generasi penerus kita, penerus bangsa. karena jika rusak moral anak-anak kita maka rusak pula bangsa kita.
Mudah-mudahan kita semua di tunjukkan jalan dan pengetahuan, sehingga kita dapat memperbaiki pendidikan moral anak-anak kita, dan kita dapat keluar dari kesedihan ini. amin.
0 komentar:
Posting Komentar