Sabtu, 18 Februari 2012

Saat Kematian Tiba


~Mary Oliver~

Saat kematian tiba
seperti beruang lapar dimusim gugur;
saat kematian tiba, mengeluarkan dari dompet semua koin yang germerlap

untuk membeliku, kemudian dompet itu segera tertutup kembali;
saat kematian tiba, seperti cacar air;

Saat kematian tiba,
seperti gunung es menhantam bahu,

Aku ingin melangkah keluar pintu dengan penuh keingin tahuan, bertanya tanya:
seperti apakah itu, rumah kegelapan?

Karena aku memandang segalanya
seperti persaudaraan
dan aku menganggap waktu tak lebih dari sebuah ide,
dan keabadian sebagai salah satu kemungkinan.

Aku pikir hidup seperti bunga, sederhana
seperti sebatang daisy dipadang bunga daisy

dan setiap nama adalah nyanyian merdu
seperti lagu, menuju kesunyian

dan setiap tubuh seperti singa yang berani
dan memiliki arti di bumi ini

Saat semua berakhir, ingin kukatakan: Sepanjang hidupku
Aku adalah pengantin wanita yang menikah pada takjub
Aku adalah pengantin laki laki, yang membawa dunia kedalam pelukanku.

Saat semua berakhir, aku tak ingin bertanya tanya lagi
apakah aku telah membuat hidupku berarti; dan nyata
Aku tak ingin menghela napas berat, dalam ketakutan,
atau penuh pertengkaran

Aku tak ingin hidupku berakhir dengan hanya sekedar mampir di dunia ini.

(Re-post from: 1 Maret 2010)

Pertanyaan “Sebenarnya apa makna kehidupan”, menjadi pertanyaan standar pada semua manusia, pada salah satu saat dalam kehidupannya.

Mary Oliver mempertanyakan ini, apa yang akan kita rasakan saat kita meninggal nanti? Kematian digambarkan dalam 4 bentuk pada awal puisi, seperti beruang dimusim gugur, seperti jiwamu dibeli oleh koin emas dari dompet langit, seperti cacar air yang tidak bisa kita hindari, dan seperti gunung es yang dingin. Kematian adalah kedinginan, dan gunung es telah mampu menhancurkan Titanic, apalagi hanya sekedar mengambil nyawa kita. Datangnya tidak mampu kita hindari, seperti cacar air.

Ketidak tahuan kita akan apa yang ada setelah kematian, di bahas dalam sebuah gambaran ketidak tahuan Oliver seperti pondok yang gelap. Sebuah keingintahuan yang melewati rasa penasaran. Penggambaran pondok menarik. Disini kata “cottage”, pondok, seperti bermakna rumah kedua, bukan “home”. Home is where our hearts are, cottage? Rumah adalah tempat hati kita berada, pondok? Sebuah penampungan diri kita.

Hidup, dalam empat bait berikutnya digambarkan dengan sangat beragam. Seperti kekeluargaan yang penuh cinta antara masing2 manusia yang ada didalam bumi ini. Digambarkan hidup setiap orang seperti sebatang bunga daisy diantara padang bunga daisy. Seperti musik yang akhirnya akan menuju pada keheningan juga betapapun enaknya lagu itu. Juga seperti macan, yang berani dan memiliki arti masing masing di bumi ini.

Oliver memandang bahwa hidup manusia itu sama. Akan melewati kelahiran, kedewasaan hingga kematian. Dari sepi menuju sepi, dari debu menuju debu. Meski hidup akan membawa keindahan yang tidak akan bisa diingat lagi oleh manusia, dan apakah keabadian itu? Oliver, seakan ingin mengatakan bahwa kematian itu jembatan yang menuju suatu ketidaktahuan yang harus dilewati manusia dengan keragu raguannya.

Kata kata berikutnya terasa mendirikan bulu halus dikuduk kita: “When it's over, I want to say: all my life, I was a bride married to amazement. I was the bridegroom, taking the world into my arms.” Hidup ini buat Mary Oliver bukanlah untuk dilewati saja, tapi untuk menikah pada “takjub”, untuk merengkuh seluruh isi dunia ini kedalam rangkulan kita. Kata2 kuat yang sering dipakai teman2 karena kekuatan maknanya.

Berapa banyak dari kita, yang pada saat tua, meragukan kembali pilihan perjalanan kita, mengapa tidak melakukan apa yang sudah ingin kita lakukan selama ini. Menjalankan mimpi kita. Takut, ragu2, mendesah, tidak pasti. Maka, pada bait berikutnya, Oliver mempertegas dengan menyatakan ketidak inginannya untuk mempertanyakan perjalanan hidupnya pada akhir hayatnya nanti.

Oliver sering mempertanyakan apa yang akan kita lakukan dalam hidup ini. Pada puisinya yang lain “Summer day”, Oliver menutup dengan kalimat: “Doesn't everything die at last, and too soon? Tell me, what is it you plan to do, with your one wild and precious life?” Bukankah segalanya akan mati juga, bahkan terlalu cepat. Katakan apa yang akan anda lakukan dengan hidup anda yang liar dan berharga ini.

Puisi ini ditutup dengan satu kalimat yang terisolasi menjadi satu bait sendiri: “I don't want to end up simply having visited this world.” Kata2 yang kuat ini terasa pas, pernyataan untuk tidak mau hidup hanyalah sekedar numpang lewat saja. Dan, kalau anda tidak mau “sekedar mampir” di bumi ini, apa yang akan anda perbuat dalam hidup anda?

*Tanadi Santoso (Re-Post)

Artikel Terkait

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes