Sabtu, 24 Maret 2012

Kenapa Steve Jobs Membangun Pabrik iPhone di Cina, Bukannya di USA?

iPhone 1
Selama sebulan ini, tak ada yang lebih menggoda ketimbang iklan iPhone 4S. Iklan itu menari-nari di halaman depan situs Tempo.co. “Cash back Rp 1 juta bagi 100 pembeli pertama,” begitu pesan yang tertulis di iklan tersebut. Benar-benar membuat hati berdebar, tak sabar menunggu antrean. Iklan itu tiba-tiba mengingatkan saya pada sebuah kisah di balik produksi “the most wanted handphone” di seluruh jagat itu.

Begini ceritanya: ada yang istimewa di Lembah Silikon Februari setahun silam. Untuk pertama kalinya Presiden Amerika Serikat Barrack Obama makan malam bersama CEO-CEO perusahaan komputer top dunia. Bukan santapannya yang istimewa, tapi diskusinya yang gayeng: penuh mimpi. Mungkin senikmat diskusi politik atau sepak bola di warung kopi di pinggir-pinggir jalan di Yogyakarta.

Sang tuan rumah adalah John Doerr. Namanya tidak seterkenal Steve Jobs atau Bill Gates. Tapi, dia orang penting di Lembah Silikon. Dialah yang menyuntikkan modal kepada perusahaan-perusahaan komputer inovatif. Dia berhasil mengajak Obama, bos Google Eric Schmidt, bos Apple Steve Jobs, pendiri Facebook Mark Zuckerberg, saling curhat mulai dari soal game Zynga yang merajalela sampai soal iPhone.

iPhone 2
Saat malam makin larut, diskusi makin hangat. Setiap CEO diizinkan mengajukan pertanyaan kepada Obama. Tapi, saat giliran Steve Jobs, justru Obama yang bertanya kepada pendiri Apple itu. Pertanyaannya sederhana tapi sangat menukik, serta penting bagi ekonomi Amerika.

“Mengapa pekerjaan membuat iPhone tak bisa dibawa pulang ke Amerika?” Obama bertanya.

Semua terperanjat. Mereka tahu ke mana arah pertanyaan Obama menuju. Pertanyaan itu bisa membawa ekonomi Amerika bangkit, kelas menengah tumbuh. Mereka tahu tahun lalu 70 juta iPhone, 30 juta iPad dan 59 juta produk Apple lainnya terjual. Tapi, semuanya kini dibuat di luar Amerika. Amerika kehilangan sebagian mesin ekonominya. Apa yang dilakukan Apple adalah gambaran betapa sulitnya membangkitkan ekonomi Amerika.

Jobs memamerkan senyumnya yang khas sebelum menjawab. “Semua pekerjaan itu tak bisa dibawa pulang ke Amerika,” katanya.

Mimpi Obama “membawa pulang pekerjaan membuat iPhone” itu akan terkendala banyak faktor. Bukan melulu soal ongkos produksi di luar negeri–baca di Cina–lebih murah. Tapi, tak ada perusahaan di Amerika yang sanggup mengerjakan secepat, sefleksibel, di luar negeri. Dan bagi Apple mencantumkan kata-kata “Made in the U.S.A.” bukanlah hal penting.

Seorang mantan eksekutif Apple membeberkan alasan mereka membuat iPhone di Cina. “Itu satu-satunya pilihan yang ada,” katanya. Dia menggambarkan betapa cekatannya pabrik iPhone yang dirakit oleh Foxconn di Cina. Saat hendak meluncurkan iPhone, rancangan desain layar baru kelar di detik-detik terakhir. Rancangan itu mengubah rancangan lama. Masalahnya, desain baru itu tiba di pabrik manufaktur Foxconn tengah malam.

Malam itu juga seorang manajer segera membangunkan 8.000 pekerja yang tidur di asrama Foxconn. Setiap pekerja disuguhi sekeping biskuit dan secangkit teh. Mereka lalu diberi penjelasan cara merakit iPhone selam 1,5 jam. Dua belas jam kemudian, mereka telah merampungkan pekerjaannya. Dan dalam 96 jam atau empat hari, pabrik itu telah siap memproduksi 10 ribu iPhone per hari! Dahsat!

“Tak ada pabrik di Amerika yang sanggup melakukan itu,” kata mantan petinggi Apple itu.

iPhone 3
Jadi, jangan heran bila Apple kini menjadi perusahaan Amerika paling menguntungkan. Bahkan, mengalahkan Google, Goldman Sach atau perusahaan minyak sekelas Exxon Mobil. Tahun lalu satu karyawan Apple itu bisa menciptakan laba US$ 400.000 (Rp 3,6 miliar).

Sumber: Blogtempo

Artikel Terkait

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes